Duh, apalagi yang terjadi dengan sepak bola kita. Ada 2 liga yang sama-sama bergulir. ISL yang dihuni tim-tim besar tapi tak direstui PSSI, satunya lagi IPL direstui PSSI tapi pesertanya terus menyusut karena ditinggal ke ISL. Ini apa yang terjadi? Masing-masing pihak punya dasar hukum sendiri, tidak ada yang mau mengalah. Ujung-ujungnya korbannya adalah pemain.
PSSI mengeluarkan pernyataan bahwa pemain yang berlaga di kompetisi di luar PSSI tidak akan dipanggil ke Timnas. Para pemain dibawah Asosiasi Pemain pun menilai aturan PSSI tersebut salah alamat karena masalah intinya adalah PSSI dengan Klub, bukan PSSI dengan pemain. Pemain adalah profesional, mereka bermain di bawah panji klub yang mengontrak mereka, tidak ikut campur dengan keputusan klub yang akan bermain di kompetisi yang mana. Tugas mereka hanyalah bermain, itu saja. Dan masalah pun sepertinya akan semakin ruwet.. Apalagi beberapa klub juga mengusulkan untuk diadakan KLB...
Memang sudah sebegitu parahkah hati nurani para petinggi PSSI, petinggi Klub, petinggi-petinggi sepakbola kita? Sepertinya yang terjadi adalah kepentingan segelintir golongan yang dipaksakan. Hasilnya tentunya adalah ketidakadilan. Ketidakadilan membuat kompetisi menjadi terpecah, klub-klub meradang, pemain akhirnya yang jadi korban. Harus ada kebesaran hati, sikap legawa dari seluruh pihak yang berkonflik untuk tidak membiarkan hal ini berlarut-larut. Ketua PSSI sebagai orang yang dipercaya mengurus PSSI harusnya tampil terdepan untuk mencari solusi terbaik. Organisasi yang Anda pimpin sedang sakit berat. Obat yang Anda berikan dengan memberikan sanksi pada pemain non IPL malah bikin runyam. Sudahlah lupakan ego, gengsi dan keangkuhan. Buang jauh-jauh. Kepentingan bangsa lebih utama dan mendesak. Jangan kecewakan asa 230 juta rakyat Indonesia yang sangat ingin sekali melihat prestasi terbaik timnasnya. Dan juga jangan korbankan pemain profesional kita, mereka adalah tulang punggung timnas. Kebesaran hati Anda-Anda semua akan dicatat oleh tinta emas sejarah kita. Sikap legawa Anda-Anda semua akan membuat rakyat Indonesia lega dan bahagia.
Setiap masalah pasti ada solusinya. Nah, masalahnya Mau atau Tidak? Mau atau tidak mereka membuang kepentingan segelintir demi kepentingan bersama?
hujanrejeki
HujanRejeki
Berhujan-hujanan dalam rejeki dan nikmat karunia-Nya
Rabu, 14 Desember 2011
Jumat, 12 Agustus 2011
Desain Grafis, bukan Desain Gratis..
Desain adalah sebuah profesi. Menurut saya, suatu perbuatan disebut profesi manakala proses dan hasil dari perbuatan tersebut memiliki nilai atau value yang layak untuk dihargai dalam bentuk biaya (rupiah). Seperti layaknya seorang dokter yang memeriksa pasien, kemudian dia melakukan analisa dari gejala dan keluhan yang dialami si pasien, sampai akhirnya si dokter memutuskan bahwa si pasien sakit A dan harus diobati dengan obat B dan C dan akhirnya si pasien sembuh. Atau contoh lain, profesi seorang notaris yang membantu membuatkan surat perjanjian jual beli, seorang manager artis yang mengatur jadwal show clientnya, seorang koki yang memasak sesuai menu pesanan, polantas yang mengatur lalu lintas dll semuanya melakukan perbuatan yang memiliki nilai dan ada biaya yang diberikan sebagai wujud penghargaan terhadap profesi tersebut.
Desainer juga seperti itu. Ketika ada client yang meminta suatu jasa desain, desainer terlebih dahulu mengumpulkan data-data keinginan dari si client. Kemudian melakukan analisa dan membuat konsep dan implementasi dari desain tsb. Sampai akhirnya menjadi sebuah karya desain, dan sang client bisa menggunakan desain tersebut.
Sebagai sebuah profesi, desain tidak boleh menjadi gratis. Tetap harus ada harga yang harus dibayar untuk proses kreatif si desainer. Harga yang wajar sesuai dengan skala desain yang diminta sang client. Jangan seperti isi sebuah spanduk advertising yang memelesetkan salah satu cabang desain yakni "desain grafis" menjadi "desain gratis". Terlepas dari apakah itu cuma slogan marketing atau benar-benar gratis, menurut saya tidak etis jika suatu profesi digratiskan...
Desainer juga seperti itu. Ketika ada client yang meminta suatu jasa desain, desainer terlebih dahulu mengumpulkan data-data keinginan dari si client. Kemudian melakukan analisa dan membuat konsep dan implementasi dari desain tsb. Sampai akhirnya menjadi sebuah karya desain, dan sang client bisa menggunakan desain tersebut.
Sebagai sebuah profesi, desain tidak boleh menjadi gratis. Tetap harus ada harga yang harus dibayar untuk proses kreatif si desainer. Harga yang wajar sesuai dengan skala desain yang diminta sang client. Jangan seperti isi sebuah spanduk advertising yang memelesetkan salah satu cabang desain yakni "desain grafis" menjadi "desain gratis". Terlepas dari apakah itu cuma slogan marketing atau benar-benar gratis, menurut saya tidak etis jika suatu profesi digratiskan...
Cita rasa Desain
Desain. Sudah lama sekali tidak membahas tentang masalah desain. Lingkungan memang sangat mempengaruhi apa yang kita dapatkan. Pada masa kuliah tiap hari selalu berkutat tentang desain. Baik itu tugas, buku bacaan, ketemu teman kuliah satu jurusan, ketemu dosen desain dll. Bahkan obrolan di kantin pun tak lepas dari urusan desain. Tidak heran bila masalah desain boleh dibilang sudah „nglonthok“, begitu kata orang Jawa.
Tetapi saat ini, hal itu sudah mulai berubah. Teori desain sudah berubah wujud menjadi suatu pengalaman rasa tentang desain. Dunia kerja tidak mengajarkan tentang teori desain. Dunia kerja membuat teori dan landasan pengertian desain yang didapat semasa kuliah semakin diasah lagi. Boleh juga dikatakan : dimatangkan lagi. Matang nya sampai kapan juga tidak bisa diberi ukuran jangka waktu tertentu. Karena proses pematangan ini seperti proses belajar, sampai tua pun proses p\itu tetap berjalan. Disini memang ada semacam proses lagi yang saya sebut sebagai peningkatan “pengalaman cita rasa desain”. Cita rasa akan semakin terasah ketika bertemu dengan banyak orang, banyak keinginan, banyak saran dan kritikan. Semakin lama kita akan semakin faham tentang desain, bukan melalui teori melainkan melalui pengalaman yang kita rasakan langsung. Cita rasa desain tidak dapat diajarkan tetapi harus dirasakan sendiri oleh desainer. Kembal lagi lingkungan sangat berpengaruh. Lingkungan dengan cita rasa tinggi tentunya akan membuat cita rasa desainer menjadi tinggi pula. Hal ini tentunya dengan catatan bahwa si desainer benar-benar membuka mata, hati dan telinga tentang lingkungan sekitarnya.
Cita rasa menentukan tinggi rendahnya selera seorang desainer. Cita rasa adalah sebuah pengalaman mistis-metafisis-, tidak bisa diukur, diformulakan dan didefinisikan dalam wujud, kata-kata dan rumus-rumus tertentu tetapi bisa dilihat dan diamati dari karya-karya yang dihasilkan. Pada umumnya tinggi rendahnya cita rasa berbanding lurus dengan pengalaman hidup si desainer. Semakin lama dia ditempa oleh berbagai tantangan desain semakin tinggi cita rasanya. Semakin tinggi cita rasa semakin fleksibel seorang desainer dalam membuat karya desain maupun memberikan suatu apresasi tentang karya desain.
Langganan:
Postingan (Atom)